Friday, February 11, 2011

HALIMAH – SANG PENCARI GURITa


l
Rasanya sudah hampir satu bulan ini, aku meninggalkan pulau fores. Tapi, rasa haru yang aku rasakan beberapa waktu lalu, masih terngiang, baik di fikiran maupun hati. Aku menemui mama halima di sana. Wanita agak tua, pencari gurita. Laut layaknya rumah kedua bagi mama halima. Dalamnya lautan sering ia selami demi mencari hewan bertentakel banyak itu.

Sosok tambun, tubuh hitam terkena air dan udara laut. Karakter yang keras. Itu kesan pertama yang kudapatkan dari mama halimah. Janda yang telah ditinggal mati suami, belasan tahun lalu. Kami menemuinya di rumah sederhana miliknya. Salah satu rumah di kampung nelayan, Nangahale Besar, Pulau Flores NTT.

Sekilas, sosok mama halimah aku gambarkan sebagai seorang narasumber biasa. Miskin, dan hidup sederhana. Seperti biasa, aku dan teman-teman meliput keseharian narasumber, dan jadilah tayangan Jika Aku Menjadi. Terkadang, liputan itu meninggalkan kesan mendalam. Kadang hanya sekadar menjalani tugas saja, tanpa bekas yang tertinggal di hati.

Tapi tak tahu mengapa, sepertinya liputanku kali ini sungguh berbeda. Aku bertemu wanita yang tak biasa. Alias luar biasa. Bukan, bukan karena pekerjaannya yang super berani. Tapi karena jiwa mama, hati mama, membuatku begitu tersentuh.

Begitu banyak kejadian yang membuatku terharu. Malahan hal itu terkadang sering bersentuhan langsung denganku. Aku kagum dengan perhatiannya padaku, pada teman-temanku satu tim. Yang sering aku temui, terkadang sang narasumber hanya dekat dengan Talent. Sebutan mahasiswa atau artis yang tinggal di rumah narasumber. Tapi tak demikian dengan mama halimah. Perhatiannya sama pada kami semua. Bukan mengada-ada atau dilebih-lebihkan.

Ketika di perahu, aku kasihan lihat mama dan tiga orang sahabatnya tidur. Malahan mereka tidur dekat sekali dengan knalpot perahu. Mama umurnya 55 tahun, ada temannya mama habiba. Sedangkan mama siti hawa sudah 65 tahun. Tapi yang hebat, mereka masih kuat bekerja mencari gurita. Kalau diceritakan, mungkin tak sedahsyat bila dilihat. Mereka menyelam dengan menahan napas. Padahal untuk menarik gurita dari sarangnya saja sulit dan makan waktu cukup lama. Pasti tidak terbayang, kalau gurita hanya dihargai 10 sampai 15 ribu per ekornya. Setiap hari mama-mama ini paling hanya mendapatkan satu atau dua ekor saja. Benar-benar pekerjaan berat, namun uang yang didapat sangat sedikit.

Belum lagi kalau cuaca di laut tak bersahabat. Bisa-bisa tidak dapat satu ekor pun. Terlebih cuaca yang buruk, bisa mengancam keselamatan mereka.

Alat yang digunakan sederhana. Kacamata renang, dan besi panjang. Tapi jangan di bayangkan kalau kacamata renang tersebut terbuat dari karet. Bentuknya memang persis mirip kacamata renang. Tapi bahannya ternyata terbuat dari kayu!. Sedangkan kaca nya memang terbuat dari kaca jendela. Nyaman? Kalau menurut mama-mama ini, sangat nyaman.

Di tengah-tengah syuting, ternyata wandha, sang talent tertusuk duri dilaut. Mama halimah dan 2 orang temannya sungguh khwatir. Kami singgah dulu di pulau pangabatan, untuk istirahat, dan mengeluarkan duri di kaki wandha. Pulau pangabatan indah nian. Pasir di pantainya mirip sekali dengan tepung. Halus dan nyaris putih. Di pulau ini Cuma ada satu tempat berteduh. Dua batang pohon akhirnya jadi tempat berteduh kami sembari menyantap makan siang.

Lagi-lagi perhatian mama halimah tak hanya tertuju pada wandha. Tapi padaku juga dua orang cameraman. Entah menyuruh kami lekas makan, entah menegur kami, atau bercanda bersama kami. Pokoknya cara mama sangat keibuan memperhatikan kami. layaknya kami adalah anak kandungnya sendiri.

Pulang ke rumah mama, aku yang sudah basah kuyup, langsung disuruh mandi oleh mama. Demikian juga wandha.

Setelah itu, aku semakin dekat dengan mama. Kadang aku juga bercanda dan tertawa bersama. Lama-lama aku jadi ingat mamaku sendiri.

Dan, inilah yang paling berat. Hari terakhir, aku membawa mama ke rumah sakit. Aku dibisiki wandha, mama nangis. Mama terharu, karena anak dan saudaranya tak pernah membawanya ke rumah sakit. Padahal saat itu mama lagi sakit.

Setelah memberikan solusi, alias barang keperluan mama, akhirnya sampailah pada kata perpisahan. Semua terharu. Demikian juga denganku. Jarang sekali aku menangis di saat scene perpisahan. Tapi air mataku kali ini seolah tak pernah berhenti menetes. Sampai akhir berpamitan, aku masih menangis. Mama halimah, suatu saat aku ingin kembali ke rumahmu lagi. Rindu akan ketulusanmu dan perhatianmu.

TANGERANG 11 FEBRURI 2011